Oleh Haedar Nashir
Apa makna kembang api dan terompet ketika banyak orang merayakan kehadiran tahun baru? Sulit menjawabnya, karena kita tidak diberi tahu dengan jelas tentang jenis budaya apa dan milik siapa kebiasaan yang kemilau seperti itu. Kita hanya meraba-raba itulah budaya populer yang sumir. Budaya serba gemerlap dan disukai banyak orang, tetapi sesungguhnya kering makna.
Di pusat keramaian, klub malam, kafe, hotel berbintang, hingga sudut kota, orang-orang menyambut tahun baru Masehi dengan kemeriahan. Lagu 'Tahun Baru' pun dinyanyikan dengan penuh gairah. Kehadiran pukul 00.00 disongsong dengan hitungan mundur penuh sukacita. Entah apa yang membuat orang-orang harus meluapkan sukacita yang penuh gairah semacam itu?
Padahal, ketika tahun baru itu tiba, sesungguhnya usia makin berkurang satu tahun. Sisanya, tinggal menghitung hari, bulan, dan tahun kapan batas usia yang bernama ajal akhirnya tiba. Jumlah hitungan usia terasa bertambah, namun sesungguhnya kian surut.
Setiap tahun baru tiba, usia kita berkurang satu tahun, begitu seterusnya hingga kematian mengakhiri segalanya. Lalu, untuk dan atas nama apa kegembiraan dan seluruh energi sukacita itu diluapkan?
Wal-ashri
Di balik kemeriahan, sekelompok umat justru menyambut tahun baru dengan bermuhasabah. Memaknai kehadiran tahun baru dengan mensyukuri nikmat Allah, berzikir, menyelenggarakan majelis-majelis taklim, dan menghitung-hitung bagaimana menjalani hidup dengan penuh makna.
Semoga saja yang satu ini pun bukan sekadar ritual kesemarakan. Perlu menjadi ajang menghisab diri; apakah hari ini lebih baik dari hari lalu atau sebaliknya lebih buruk. Harapannya, hari ini dan ke depan jauh lebih baik dari sebelumnya.
Hidup ini sesungguhnya bertaruh waktu. Wal-ashri, demi waktu. Jadikan hidup ini penuh arti. Bahwa waktu sangat berharga. Siklus hidup adalah perputaran waktu yang bernama zaman. Waktu bagaikan pedang, kalau tak pandai-pandai memakainya akan melukai diri sendiri, bahkan melukai orang lain.
Manusia bisa beruntung sebaliknya merugi karena waktu. Karena itu, jangan bermain-main dengan waktu. Teologi wal-ashri mengajarkan hidup manusia untuk menghargai waktu, dan menjadikannya sebagai jalan lempeng untuk beriman dan beramal saleh dengan penuh kewaspadaan.
Dalam memaknai pergeseran waktu dan siklus hidup, Nabi mengingatkan tentang lima hal. Ingatlah hidupmu sebelum tiba matimu. Sehat sebelum datang sakit. Waktu senggang sebelum datang sibuk. Masa muda sebelum tua. Kaya sebelum miskin.
Makna semua itu ialah kewaspadaan dalam hidup. Hidup jangan sampai lengah dan disia-siakan untuk sesuatu yang tak berguna. Hidup sekadar kelihatan gemerlap bagaikan kembang api, tetapi sepi arti. Berkoar nyaring laksana suara terompet, tetapi kehilangan gelora makna. Hidup lalu sekadar hidup, minus arti dan fungsi sejati.
Dalam teologi wal-ashri, waktu sedetik pun sangat bermakna. Bacalah kehidupan di sekeliling. Hari ini tahu-tahu orang di sekitar kita telah pergi menghadap Allah, padahal sebelumnya masih bersama kita.
Hari ini, ketika Anda masih bisa menuding orang lain membuat makar, fitnah, dan kemungkaran dengan segala kepiawaian retorika dan kuasa tanpa paham apa yang sesungguhnya terjadi. Hari ketika seluruh instrumen kekuasaan dapat Anda gunakan untuk menutupi dusta demi dusta, penipuan demi penipuan, dan kejahatan publik demi kejahatan publik lainnya dengan segala cara.
Hari ketika segala bau busuk bisa Anda bungkus dengan senyum, keramahan, dan kesantunan yang sumir. Bila perlu dengan ancaman hukum dan permainan intelijen yang menakutkan.
Tapi, percayalah ketika ajal tiba dan Anda berhadapan dengan mahkamah Tuhan, seluruh dusta, manipulasi, dan makar sedahsyat apa pun akan terbongkar terang-benderang tanpa ampun. Hak dan batil benar-benar akan terkuak bedanya, tak akan lagi samar, sumir, abu-abu, apalagi tertukar dan dipertukarkan. Ketika logika fasad dan makar tak lagi berfungsi.
Di saat itulah, segala kebusukan, keburukan, dan kejahatan sekecil zarrah pun akan menelanjangi dirinya sendiri secara terang-benderang. Apalagi, untuk segala jenis gurita kemungkaran. Termasuk, gurita korupsi yang menista bangsa dan negara!
Amal saleh
Dalam teologi wal-ashri, hidup ini sesungguhnya bertaruh waktu. Amal baik dan amal buruk akan jelas bedanya. Siapa yang pandai memanfaatkannya untuk beramal saleh seluas samudra maka hidupnya menjadi penuh makna.
Sebaliknya, manakala menyia-nyiakannya pasti kehilangan. Tidak semua orang memang menyadari makna hidup yang penuh pertaruhan itu, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh secara autentik. Hidup sering dijalani dengan kesia-siaan dan penuh permainan. Bagi sebagian orang bahkan berlaku permainan: wa ma hayat al-dunya illa mata' al-ghurur, dan tiada hidup di dunia ini selain senda gurau belaka.
Agar tak sia-sia, isilah hidup dengan amal saleh. Bagi setiap Muslim, hidup dan pergeseran waktu sedetik pun harus dimaknai dengan amal saleh. Bagaimana berbuat serbakebaikan yang membawa kemaslahatan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan.
Amal saleh ialah amal yang jernih, baik niat, proses, maupun hasilnya. Menurut Ibn Katsir, amal saleh ialah pekerjaan yang sejalan dengan ketentuan yang dianjurkan oleh Allah dan Sunah Nabi, baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, yang mengandung sifat-sifat baik. Kebaikan dari hal-hal kecil, seperti menyingkirkan duri di jalan hingga mengurus negara dan seluruh bumi dengan segala jenis kebaikan.
Amal tentu harus bersendikan iman sehingga tetap terbingkai dalam habl min Allah. Amal haruslah baik dan melahirkan kebaikan. Perbuatan baik juga harus dilandasi niat yang baik. Jangan karena ingin berbuat baik kemudian dilakukan dengan jalan yang salah.
Dalam beramal saleh, setiap Muslim harus memiliki jiwa ihsan, yakni kebaikan yang seluruhnya dilakukan secara ikhlas semata-mata meraih rida Allah. Dalam hadis disebutkan, ihsan ialah `an ta'buda Allah ka annaka tarahu, fa in lan takun tarahu fa innahu yaraka , bahwa engkau beribadah kepada Allah seakan melihat-Nya, tetapi kalau engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu. Artinya, perbuatan baik kita dilakukan dengan setulus hati, tanpa pamrih duniawi kecuali pamrih pahala dari Allah. Itulah quantum beramal saleh.
Dalam beramal saleh jangan merasa kehilangan, tetapi justru mendapatkan karena telah menabung pahala untuk diri kita sendiri. Jika dalam beramal kebaikan tak memperoleh ganjaran duniawi ( ujrah ), percayalah pahala ukhrawi ( ajrah ) pasti diraih asalkan ikhlas.
Jangan pernah merasa sia-sia dan kehilangan ketika kita beramal saleh, dan jangan sampai perbuatan-perbuatan atau apa pun yang kita lakukan sehari-hari itu kehilangan makna dan fungsinya sebagai amal saleh. Jika kita memberi sesuatu yang bermakna, Tuhan tidak akan salah alamat membalasnya.
Amal saleh dalam berpolitik tidak kalah pentingnya dengan amal saleh sehari-hari. Politik bagi setiap Muslim harus mencerminkan amal saleh, bukan sekadar simbol belaka. Politik harus mencerminkan aqrab ila al-ashlah (mendekatkan kepada serbakebaikan) dan ab'ad `an al-munkar (menjauhkan diri dari kemungkaran), bukan sebaliknya. Jangan karena politik, malah kesalehan dan amal saleh tergerus menjadi amal salah.
Sementara agama, sekadar jadi pajangan dan bahan politik pencitraan belaka. Barang baik dimusnahkan dan disembunyikan, hal-hal buruk malah dibudayakan dengan logika klasik: politik memang begitu adanya, kalau tak dapat seluruhnya maka yang sebagian jangan dilepas.
Akhirnya, politik kembali ke sarangnya yang paling primitif: menghalalkan segala cara. Menjadi arena paling leluasa untuk bertaruh uang dan jabatan, bukan bertaruh iman dan amal saleh!
(-)
Sumber: Republika 03-01-10
No comments:
Post a Comment