Bismillahirrahmanirrahim... بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

06 December 2010

MASJID PENUH MALAIKAT

Sastra
Cerpen Miftah Fadhli

“Ki Ma’un, kenapa pintu masjid belum dibuka?” tanya Jawi ketika menghampiri Ki Ma’un yang hanya nongkrong di depan pagar masjid. “ Lha, malah ngendhukdi sini. Kenapa belum dibuka masjidnya, Ki.”
Ki Ma’un tengadah. Kedua alisnya melorot membentuk kerut. Sambil membetulkan kopiah dan mengusap kerak ludah di ujung bibir, dia memberikan kunci mesjid kepada Jawi dengan wajah kusut. Jawi yang gelagapan karena saat itu dia belum siap melipat sarungnya terpaksa menerima dengan raut heran. “Kenapa tho, Ki? Kenapa kuncinya diberikan ke saya tho?” ucap Jawi sambil sesekali mengusap matanya yang penuh belek.

Jawi berjalan agak terkantuk ke teras mesjid.Sepi meraup dingin yang tadi sempat Jawi rasakan di perjalanan. Tidak biasanya masjid setenang ini. Dingin yang memuncak tiba-tiba melorot tak berdaya berganti hangat, sekaligus suasana hening tanpa bunyi sedikit pun. Jawi mengintip dari jendela. Yang dapat ia lihat hanya bayangan samar kain pembatas di dalam mesjid yang dikuak ke atas. Lalu, dengan hati-hati sambil sebelumnya menoleh kepada Ki Ma’un yang tak meninggalkan duduknya, ia memasukkan kunci pada lubangnya. Ia putar ke kanan, lalu “klik”. Diputar ke kanan kedua kalinya, kemudian terdengar lagi “klik”. Ia tersenyum. Berbalik sebentar pada Ki Ma’un yang juga berbalik, namun cepat memalingkan muka dan menunduk cemberut.

“Wonganeh Ki Ma’un ini. Ndakada apa-apa kok ngekengkreng begitu kayak ayam,” celoteh Jawi sambil memutar gagang pintu. Tidak ada suara “klik treeek” seperti biasa saat membuka pintu. Justru gagang pintu yang kembali pada posisinya semula sulit diputar untuk kedua kalinya. Jawi bingung. Diputarnya lagi berulangulang, namun hasilnya tetap sama saja. Gagang pintu tak bergerak.
“Pintunya rusak, Ki?”
“Ya ndak. Kemarin gagangnya baru diganti dengan
yang paling baru dan mahal. Ndakmungkin rusak,”
jawab Ki Ma’un tak bertenaga.
Jawi mencoba sekali lagi, tapi gagal. Ia berputar ke
pintu samping, menjumput kunci kedua. Dimasukkannya
kunci, diputarnya gagang pintu, kembali pada posisi
semula, lalu diputar lagi. Hasilnya tetap sama. Dan, tak
berubah pula ketika ia mencoba pada pintu ketiga.
“Atau kuncinya yang ndakpas, Ki?”
“Kamu dengar bunyi apa itu tadi? Kalau bisa diputar,
ya berarti pas tho,” jawab Ki Ma’un kesal.
Akhirnya, Jawi bergabung dengan Ki Ma’un. Duduk di
sebelahnya dan menyerahkan kunci itu padanya lagi.
“Memangnya sudah berapa lama Ki di sini?” tanya
Jawi.
“Sejak sejam yang lalu,” ucap Ki Ma’un.
“Duh, kenapa bisa begitu ya? Masak pintu tiba-tiba
ndak iso dibuka ya?” gerutu Jawi sambil menggarukgaruk
kepalanya. Ia mengapit kopiahnya di bilah ketiak
sambil membetulkan lipatan sarung yang dari tadi terus
melorot.

Ia memandang sekeliling. Hari ini aneh, sangkanya. Biasanya orang sering berseliweran di depan masjid meski masih pukul setengah lima. Setengah jam lagi seharusnya azan Subuh. Biasanya akan ada rombongan ibu-ibu pedagang menggondol dagangannya dengan tampah atau keranjang. Para jamaah juga seharusnya sudah ada yang datang ke masjid, tapi Jawi tak melihat satu pun muka mereka.

“Mustahil ndakbisa dibuka, Ki,” Jawi geram.
Kemudian, ia merebut kunci dari Ki Ma’un dan mencobanya
lagi. Tetap tak terbuka. Jawi mengelilingi mesjid,
bahkan sempat melongo ke dalam toilet. Sebentar ia
berdiri di samping kanan masjid sembari mengedarkan
pandangannya pada semua benda. Ia merasa aneh. Tak
ada angin, tak ada sesuatu yang bergerak normal. Jika ia
merasakan ada angin, itu karena ia merasa tengkuknya
tiba-tiba dingin seperti diembus. Bulu kuduknya meradang.
Ia menghampiri Ki Ma’un.
“Hari ini kok aneh ya, Ki?”
“Aneh bagaimana?”
“Kok ndakada orang lewat, ndakada angin, ndakada
apa gitu Ki. Tenang sekali di sini,” ucap Mail mengeluselus
tengkuknya yang masih terasa dingin.
Ki Ma’un hanya menoleh, menatapnya sayu, lalu berbalik mengusap wajahnya. Rasa kantuk sepertinya masih mengganjal Ki Ma’un, sebab sedari tadi ia terus mengucek-ucek kedua matanya. Kelopak matanya turun dan sepertinya ia sangat kelelahan.

“Tadi malam aku ngerondasampai jam dua. Masih ada beberapa penduduk lewat kok.” Ucap Ki Ma’un. Jawi mengangguk setuju, sebab ia juga sempat mendengar beberapa pemuda di warung samping rumahnya bernyanyi hingga pukul tiga. Juga terdengar alunan musik gondang dari rumah Ompu Manitir yang tak jauh dari rumahnya. Ia tahu di rumah Ompu Manitir sedang diadakan pesta perkawinan anak keduanya. Pesta itu sendiri sudah berlangsung sejak dua hari lalu.

Sebenarnya, keheranan Jawi sudah berlangsung sejak ia keluar dari pintu rumah. Bahkan, bunyi kancing kemejanya yang jatuh saja bisa ia dengar saking sunyinya. Langit tampak gelap. Sunyi membahana di sekeliling perkampungan. Ia pun bingung saat melewati rumah Ompu Manitir, tidak ada ada lagi peralatan pesta bertengger di situ. Sekadar sampah atau sisa-sisa kayu bekas api unggun saja tidak ia temukan. Biasanya Ompu Manitir membuat api unggun di depan rumahnya jika ada acara hingga larut malam.

Hal yang paling membuatnya merinding adalah ketika ia melintas di depan rumah Pakde Suryaman. Rumah lelaki dermawan itu gelap, sama sekali tak disinari cahaya. Lampu jalan sudah tak berfungsi sejak dua hari lalu dan tak diganti. Ia sempat berhenti sebentar melihat-lihat sekeliling rumahnya. Begitu tenang. Seakan ia pun ikut hanyut dalam ketenangan yang luar biasa itu.

Kemarin, Pakde Suryaman baru saja menggelar wiridan bersama anak-anak yatim. Padahal, kondisinya saat itu sedang sakit hingga ia mesti duduk di kursi roda, tapi tetap memaksakan ikut membagi-bagi sembako kepada anak-anak yatim itu. Jawi sendiri ikut membantu. Jawi beranjak lagi dari samping Ki Ma’un. Kali ini ia mencoba melongo dari lubang ventilasi. Ia mengambil dingklik di samping tiang dan berusaha memanjangmanjangkan leher demi melihat ke dalam mesjid.

Darahnya terkesiap. Jantungnya berdetak kencang saat ia menyaksikan di shaf imam terdapat Alquran terbuka di atas dudukannya dengan mikrofon duduk di depannya. Cahaya di atasnya menyala meski redup.
“Ki, sampeyanlupa membereskan masjid, ya?”
katanya tanpa beranjak.
“ Ndakmungkin aku lupa. Wongtadi sehabis Isya
sudah kubereskan semua.”
“Ada Alquran di barisan imam, Ki. Masih terbuka.
Juga ada mikrofon di situ.”
“ Ndakmungkin ah. Aku yakin sekali sudah
kubereskan semua Alquran dan mikrofon ke tempatnya.”
Bantah Ki Ma’un sebal.
Jawi mengintip ke arah jam dinding. Sudah
pukul lima. Seharusnya azan subuh sudah berkumandang,
namun ia tak mendengar azan dari
masjid manapun. Padahal, kampungnya dikelilingi
tiga buah masjid yang selalu tepat waktu mengumandangkan
azan.
“Ki, bawa jam ndak? Sudah jam piro?” tanya
Jawi masih tak beranjak dari tempatnya.
“Jam limolewat sikit. Kenapa ndakada azan,
ya?” Ki Ma’un ternyata menyadari hal yang sama.
“Aku juga ndakmengerti, Ki. Ono opo tho?”
Jawi menghampiri Ki Ma’un. Sambil berjalan tergopoh-
gopoh ia meminta lagi kunci masjid pada
lelaki tua itu.

“Sudahlah. Ndakakan bisa dibuka. Wong aku sendiri sudah mencobanya lima kali, tetep ndak iso.” Kata Ki Ma’un urung memberikan kunci pada Jawi. Bagai kena mantra sirep, Jawi dan Ki Ma’un tiba-tiba merasa tak dapat menggerakkan tubuhnya ketika angin berembus demikian kuat hingga mengempas kopiah keduanya.

Langit tiba-tiba mengeluarkan cahaya kekuningan demikian perlahan. Mereka dapat melihat bayangan mereka sendiri diterpa cahaya fajar yang tibatiba saja menyembul dari balik ufuk. Barulah mereka dapat menggerakkan tubuh secara perlahan ketika Kades Darmadji datang menghampiri.
“Lho, kalian masih di sini rupanya. Sudah dimatikan
kasetnya kan? Lho, pintu masjidnya kok ditutup lagi,”
ujar Kades Darmadji menepuk pundak Ki Ma’un.
Jawi yang bingung setengah mati bertanya, “Ada apa
ya, Pak?”
Kades Darmadji tertawa seloroh, kemudian menggeleng-
gelengkan kepala. “Kamu ini bagaimana tho, Jawi.
Lha wongtadi kamu yang ngumumkenPak Suryaman
meninggal. Ya, sudah jangan bercanda. Sudah kamu
matikan kan kaset Yasinnya?”

“Kaset Yasin opo tho. Wong dari tadi masjidnya ndak iso dibuka,” sambung Ki Ma’un terheran-heran. Kades Darmadji kembali tertawa dan menggelenggelengkan kepala. Ia heran melihat kedua lelaki di depannya saling pandang dengan wajah kusut.

“Ki Ma’un ini pintar bercanda ya. Wongsuara kaset sekeras geledek begitu kok malah nanya kaset opo. Sudahlah, Ki, Jawi, saya tunggu di rumah pak Suryaman ya.” Kades Darmadji meninggalkan kedua lelaki yang masih tak mengerti apa-apa.
Mereka tetap saling pandang. Tak berkedip sekalipun. Mencoba mengingat-ingat kembali. Mereka yakin tak mendengar suara kaset apa pun, bahkan tak merasa mengumumkan berita apa pun karena memang sejak tadi mereka tak bisa masuk masjid.

Ki Ma’un memberikan kunci masjid pada Jawi. Jawi yang masih tak percaya berjalan agak gontai menuju pintu masjid. Ia masukkan kunci perlahan, lalu memutar gagang pintu. Sesaat pintu terbuka setelah Jawi mendorongnya sedikit. Dilihatnya kain pembatas jamaah terlipat ke atas. Tak ada Alquran dan mikrofon tergeletak di barisan imam seperti yang ia lihat tadi.

Tumpatan, 2010

***

Miftah Fadhli lahir di Lubukpakam, 29 Februari 1992. Saat ini ia bertempat tinggal di kota kelahirannya. Semasa SMA ia rajin mengikuti berbagai kegiatan organisasi sekolah. Ia juga sering mengikuti seminar-seminar kepenulisan dan menjuarai beberapa lomba kepenulisan. Cerpen dan puisinya dimuat di media massa. Laki-laki yang sejak SD sudah tertarik dengan dunia sastra ini mengagumi karya-karya Triyanto Triwikromo dan Agus Noor, oleh karena keindahan narasi dan imajinasi karya mereka. 
Selain tengah menempuh pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ia juga bergiat di Teater Sastra Universitas Indonesia.

Sumber: http://koran.republika.co.id/

No comments: