KISAH HAJI
Oleh Syahruddin El-Fikri
Setiap jamaah haji pasti menginginkan untuk mendapatkan haji mabrur, yakni ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Hal serupa pun menjadi dambaan Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), seorang ulama asal Marwaz, Khurasan.
Oleh Syahruddin El-Fikri
Setiap jamaah haji pasti menginginkan untuk mendapatkan haji mabrur, yakni ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Hal serupa pun menjadi dambaan Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), seorang ulama asal Marwaz, Khurasan.
Ada dua hal yang senantiasa didambakannya dalam hal ibadah, yaitu haji dan jihad. Karena itu, bila tahun ini ia berhaji, tahun depan ia ingin berjihad.
Suatu waktu, ia berkeinginan pergi haji. Ia pun bekerja keras untuk mengumpulkan uang. Dan, ketika terkumpul, ia pun melaksanakan niatnya untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Suatu malam ia bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan.
"Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?" tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya. "Enam ratus ribu orang," jawab malaikat lainnya.
"Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima?" lajut malaikat pertama itu bertanya. "Tidak satupun," ujar malaikat lainnya.
"Kecuali, satu orang yang ibadah hajinya diterima. Dialah tukang sepatu yang tinggal di Damsyiq. Dia biasa dipanggil dengan nama Ali bin Muwaffaq," jawab malaikat kedua.
"Mengapa bisa begitu?" tanya malaikat pertama. "Sebenarnya, dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Bahkan, berkat dia pula, ibadah seluruh jamaah haji ini diterima oleh Allah," jelas malaikat kedua.
Ketika Abdullah Ibnu Mubarak mendengar percakapannya itu, terbangunlah ia dari tidurnya. Setelah semua perlengkapan dipersiapkan, ia pun segera pergi ke Damsyik untuk menemui Ali bin Muwaffaq. Ia telusuri kediamannya, dan kemudian menemukannya.
Abdullah bin Mubarok memohon agar Ali bin Muwaffaq menceritakan pengalaman hajinya hingga ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut. Ali menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Dia pun mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.
Ketika musim haji telah tiba, ia pun mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya di sebelah rumah. Ali bin Muwaffaq pun mendatangi tetangganya itu dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan.
Tetangganya yang rupanya miskin ini langsung menangis. Ia pun menceritakan kisahnya. "Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa," katanya. "Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak. Aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu," terangnya sambil menangis.
Bagaikan disambar geledek, Ali bin Muwaffaq pun turut merasakan kesedihan tetangganya yang miskin itu. Tanpa berpikir panjang, ia pun langsung pulang kembali mengambil tabungannya, dan diserahkannya uang 350 dirham itu kepada keluarga tersebut tanpa sisa. "Belanjakan ini untuk anakmu," kata Muwaffaq. "Inilah perjalanan hajiku," ungkapnya dalam hati.
Wallahu A'lam.
(-)
No comments:
Post a Comment